Penulis: Putera Dwi Kusumatoro
Email: puteradwi09@gmail.com
Student of Management, UII
Indonesia kembali terpilih menjadi dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk periode 2020 - 2022 pada Sidang Majelis Umum PBB ke-74, di New York, Amerika Serikat, 17 Oktober lalu. Dengan total 174 suara dari 193 negara anggota PBB, penunjukan Indonesia merupakan yang kelima kalinya setelah pada tahun periode 2006-2007 untuk pertama kalinya menjadi founding member, kemudian Indonesia kembali diamanatkan pada tahun periode 2007-2010, 2011-2014, dan yang terakhir pada tahun periode 2015-2017, sebelum pada akhirnya ditunjuk kembali pada tahun ini.
Kita patut mengapresiasi dan bangga dengan langkah Indonesia dalam memperjuangkan penerapan HAM di kancah Internasional, khususnya atas penunjukan Indonesia sebagai dewan HAM PBB. Jika di kawasan internasional Indonesia gencar dalam perjuangan HAM, lalu bagaimana perjuangan HAM di wilayahnya sendiri? jika memang pelaksanaan HAM dan keadilan sosial sudah merata di tiap wilayah Indonesia, tentu tidak mungkin akan adanya gerakan pemberontakan dibeberapa wilayah, khususnya di Papua Barat.
Semenjak pra dan pasca Indonesia merdeka, sebetulnya rakyat Papua Barat sudah menanamkan semangat kemerdekaan untuk wilayahnya sendiri. Izaak Kijne pada 26 Oktober 1925 sudah menanamkan semangat kemerdekaan kepada murid muridnya di teluk Wondama, Papua Barat, yang saat ini tempat itu dinamai “batu peradaban”. Kemudian diikuti serangkaian aktivitas yang seperatis dan mendukung Papua Barat untuk merdeka, seperti munculnya bendera bintang kejora untuk wilayah Papua Barat, terbentuknya Organisasi Papua Merdeka (OPM), hingga terbitnya lagu kebangsaan Papua Barat, “Hai Tanahku Papua”.
Pergerakan seperatis Papua Barat memiliki dasar yang kuat. Mereka seperti dianak-tirikan oleh pemerintah pusat, seperti yang dinyatakan oleh Effendi (2005) pada jurnalnya, bahwa gerakan seperatis muncul akibat ketidakadilan pemerintah pusat dan mengkatagorikan rakyatnya sebagai Rakyat Kelas Dua. Contohnya saja pada 15 Agustus 1962, pada saat itu pemerintah pernah mencoba menahan laju gerakan seperatis Papua Barat dengan New York Agreement. Mengejutkannya, perjanjian tersebut tidak melibatkan orang asli Papua. Kemudian, tidak ada pembicaraan nasib Rakyat Papua kecuali hanya eksploitasi SDAnya. Ketidakadilan juga terjadi pada tahun 1969 dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) untuk menentukan keluar tidaknya Papua Barat dari Indonesia. Ironisnya, Dari 800.000 lebih penduduk jiwa, hanya 1.026 yang dapat memilih. Pemerintah pada saat itu beralasan bahwa orang Papua masih terbelakang sehingga tidak cocok dengan sistem referendum. Hasil akhir Pepera menyatakan bahwa Papua Barat tetap dalam wilayah Indonesia.
Dalam melawan pergerakan seperatis rakyat Papua, Pemerintah Indonesia seringkali menggunakan pendekatan militer yang jelas melanggar HAM. Operasi militer 1967 menewaskan 40 orang. Pada April 2003, pemindahan paksa warga di 25 kampung di Papua oleh TNI menewaskan 42 orang dan 38 orang luka berat. Lalu penembakan di perusahaan tambang PT. Freeport Indonesia yang menewaskan 3 orang. Yang terbaru, meledaknya kericuhan diberbagai kota di Papua Barat yang menewaskan banyak rakyat sipil yang disebabkan oleh tindakan rasisme yang terjadi di Surabaya beberapa waktu lalu.
Dukungan publik Internasional untuk Indonesia di PBB bukan berarti tanpa kecaman dari publik Internasional untuk wilayah Papua Barat. Banyaknya pelanggaran HAM dan ketidakadilan Pemerintah Indonesia terhadap Papua Barat jelas dikutuk oleh publik Internasional. Pemerintah tampak risih dengan dukungan Internasional kepada Papua Barat agar dapat mendapatkan keadilan HAM atau memisahkan diri dari Indonesia. Contohnya, Pemerintah Indonesia meradang dengan pergerakan anak bangsanya yang seorang aktivis HAM, Veronica Koman, yang justru mendapatkan penghargaan “Sir Ronald Wilson Human Rights Award”, sebagai apresiasi Pemerintah Australia terhadap perjuangan HAM di Papua Barat. Dukungan internasional terhadap Papua Barat itu seperti kita mendukung merdekanya Palestina dari jajahan Israel, atau merdekanya masyarakat Muslim Rohingya dari kekejaman Pemerintah Myanmar.
Masalah ini tidak akan selesai bila pemerintah memakai pendekatan militer. Tindakan yang adil dan mensejahterakan masyarakat Papua Barat adalah keharusan bagi Pemerintah Indonesia sebagaimana tertulis di Pancasila. Juga, pergerakan Indonesia dalam urusan HAM kawasan Internasional juga semestinya diterapkan di Papua Barat. Dengan begitu, semangat persatuan Indonesia juga akan muncul dengan sendirinya di masyarakat Papua Barat. Karena sejatinya, tidak akan ada gerakan separatis, bila keadilan sosial sudah merata di Indonesia.
Comments