M Habib Pashya
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia
FPCI Chapter UII
Keadaan India berada dalam kondisi yang panas. Konflik yang terjadi di India antara
Hindu-Islam bercampurkan diskriminasi, kekerasan langsung serta kekerasan verbal. Dengan
kata lain, diskriminasi tersebut terjadi karena adanya kepentingan yang besar dari pihak
mayoritas yaitu Hindu. Dari hal tersebut, Hindu berusaha seakan-akan menjadi ingin
penguasa di India dengan cara menyingkirkan umat Islam dengan cara yang tidak biasa
seperti menegakan bendera Hindu di atas masjid di India. Masjid atau tempat beribadah umat
Islam seperti tidak ada harga lagi di India. Lebih parahnya, melihat kondisi India yang sedang
kacau dengan masalah seperti perihalnya benang kusut. Kejadian tersebut berakar dari
kebijakan pemerintah yang terlalu melihat satu arah terhadap pandangan beragama. Dengan
kata lain, kebijakan pemerintah India yang melihat Islam sebagai ancaman di negara tersebut.
Lalu, apa latar belakang dari konflik agama tersebut?
Dilansir dari CNN (28/02/2020), konflik tersebut tidak terlepas dari lolosnya UU
yang kontroversial, Citizenship Amendment Bill di New Delhi, India. Dalam UU tersebut
berisikan bahwa mereka akan memberikan imigran sebuah kewarganegaraan terutama dari
negara-negara tetangga, Pakistan, Afghanistan, dan Bangladesh. Kontroversial terletak pada
izin pemberian kewarganegaraan tersebut yang diperoleh oleh agama Hindu, Kristen, dan
agama minoritas lainnya dan tentunya selain Islam. Tentu saja, UU tersebut merugikan para
umat Islam yang menjadi minoritas di India. Sekitar 15% dari jumlah penduduk di India
adalah beragama Islam. Tuntunan terhadap UU tersebut mengakibatkan demonstrasi
pergerakan agama Islam yang berada di India. Mereka (umat islam) merasa dirugikan
terhadap UU tersebut karena jika UU tersebut berjalan seiring perkembangan zaman tentu
saja agama Islam akan runtuh di India. Tentunya, hal tersebut mendapat respon dari partai
Kongres Nasional berpendapat bahwa hal tersebut sangat diskriminatif terhadap umat Islam.
Di India, setelah UU tersebut disahkan seakan-akan membuat agama Islam menjadi kelas
kedua di dalam masyarakat. Tentu akan berimbas kepada kebijakan – kebijakan seterusnya
yang dijalankan oleh pemerintah. Kebijakan berbasis agama tersebut membuat para umat
Islam tertekan di dalam negara. Realitanya, ketika UU tersebut disahkan oleh pemerintah,
umat Islam yang berada di India tidak mendapatkan hak sepenuhnya dari pemerintah maupun
dari masyarakat karena ketika pemerintah menganggap bahwa Islam menjadi ancaman bagi
negara. Hal tersebut akan berlanjut kepada konstruksi sosial di masyarakat yang juga
beranggapan bahwa Islam merupakan ancaman di dalam masyarakat. Terlepas dari hal
tersebut, tentu saja tidak semua masyarakat Hindu memiliki pemikiran yang sama terhadap
pemerintah tetapi realitanya terjadi dalam masyarakat.
Dilansir dari CNN Indonesia (28/02/2020), terjadi kerusuhan antara umat Islam dan Hindu di
New Delhi yang berakibatkan 38 orang tewas serta lebih dari 200 orang menjadi luka-luka.
Penambah jumlah korban yang berjatuhan dari pemberontakan tersebut terhadap UU yang
kontroversial yang menjadi tuntutan mereka. Mereka tidak hanya menjadi korban namun
tempat ibadah mereka pun ikut menjadi korban. Setidaknya, tempat tinggal mereka, toko
yang menjadi sumber penghasilan, masjid yang menjadi tempat beribadah, sekolah serta hal
lainnya ikut rusak akibat kerusuhan tersebut. Dibalik kerusuhan tersebut terdapat aktor yang
menjadi penyebabnya. Dalam studi Hubungan Internasional, penguasa tentu saja memiliki
otoritas yang besar dalam mengambil kebijakan. Biasanya, kebijakan yang diambil
berdasarkan dari latar belakang aktor tersebut.
Siapa dalang dibalik kerusuhan tersebut ?
Narendra Damodardas Modi merupakan Perdana Menteri ke-15 bagi India. Naiknya
Modi sebagai Perdana Menteri tidak lepas dari Modi sebagai pemimpin Partai Bharatiya
Janata. Modi juga memiliki rekam jejak yang begitu menyakitkan karena dari tahun 2001
sampai 2014, Modi menjabat sebagai Menteri Utama Gujarat. Dilansir dari CNN
(30/05/2018), Modi berhasil naik menjadi Perdana Menteri India pada Pemilu 2014 dengan
jumlah suara 31,34 persen. Menyangkut dengan latar belakang Modi dan kerusuhan tersebut
tentu saja memiliki korelasi yang begitu kuat. Mengapa begitu? Menyangkut dengan hal
tersebut, sebagai fakta bahwa Narendra Modi merupakan seorang yang beragama Hindu.
Ketika Modi naik menjadi Perdana Menteri India, Modi diharapkan mampu mengangkat
perekonomian India yang sedang tertinggal dari negara lain. Beruntungnya pada saat Modi
naik sebagai Perdana Menteri India tahun 2018, IMF mencatat bahwa ekonomi India
diprediksi akan tumbuh sebesar 7,3 tahun 2018. Prediksi belum tentu benar bagi ekonomi
India. Buruknya, Modi mempunyai catatan buruk dalam mengakrabkan warga negara. Hal
tersebut terlihat pada saat Modi naik sebagai Menteri Utama Gujarat, tercatat kurang lebih
2500 orang meninggal dan mayoritas yang menjadi korban adalah Muslim. Keburukan
tersebut kembali terulan ketika Modi mengesahkan UU CAB tersebut. Melihat latar belakang
Modi yang beragama Hindu tentu saja hal tersebut berpengaruh terhadap kebijakan yang
dibuat oleh Modi yang berbasis agama. Menurut saya, Modi seakan ingin menyulap India
dari negara sekuler menjadi negara Hindu dan tentu saja dengan UU CAB tersebut membuat
Modi akan langgeng di dalam kekuasaan. Dengan banyak korban yang berjatuhan yaitu
Islam.
Seharusnya, apa respon negara mayoritas Islam, termasuk Indonesia?
Menurut saya, dengan penganut Islam sebagai mayoritas tercatat pada tahun 2010,
Indonesia memiliki 87,17 persen umat Islam. Terlepas dari presentasi tersebut, Indonesia
menjadi Dewan tidak tetap keamanan PBB pada sektor HAM dan memiliki prinsip luar
negeri bebas-aktif. Dengan hal tersebut, Indonesia memiliki tiga modal dalam menjaga
perdamaian.
Pertama, dengan mayoritas Muslim, Indonesia seharusnya melihat hal tersebut
menjadi sebuah ancaman terhadap kemanusiaan. Indonesia sulit untuk dikatakan sebagai
negara sekuler, karena dari kebijakan luar negeri yang dibuat oleh Indonesia seharusnya
menjadi salah satu bentuk yang diutamakan, kebijakan yang agamis. Keterlibatan kebijakan
yang agamis menurut saya tidak serta merta menjadi hal yang terlalu dipermasalahkan.
Hanya saja, Indonesia melihat hal tersebut menjadi isu kemanusiaan terhadap saudara yang
bermayoritaskan Muslim yang terancam di India. Dengan kata lain, seharusnya Indonesia
tidak hanya memfokuskan politik luar negeri yang yang statis hanya kepada Palestina dan
Afganistan tetapi melihat hal yang lebih dinamis seperti isu kemanusiaan yang ada di India
dan menjadikan platform seperti PBB untuk Indonesia berbicara didepan forum tersebut.
Kedua, duduknya Indonesia di Dewan Keamanan PBB menjadi salah satu hal yang
menguntungkan bagi Indonesia untuk menyuarakan pendapatnya di PBB. Terlebih lagi, suara
Indonesia di dalam sidang akan didengar dan Indonesia juga mempunyai catatan yang baik di
dalam ranah Internasional terkait isu perdamaian serta kemanusiaan. Menanggapi konflik di
India sebagai diskriminasi terhadap agama tertentu. Keuntungan yang didapatkan Indonesia
di dalam Majelis dewan keamanan tidak tetap tentunya harus dimanfaatkan. Karena melihat
diskriminasi terhadap islam yang berada di India tentu saja bukan hanya perihal agama tetapi
berada dalam taraf kemanusian. Seharusnya, menurut pendapat saya, Indonesia berbicara di
depan PBB sebagai representasi dewan keamanan manusia yang dijabat Indonesia sekarang.
Berbicara serta menekan India pada forum tersebut sehingga representasi Indonesia di dalam
PBB tidak hanya ‘title’ belakang. Minimal, secara langsung Indonesia sudah membuktikan
hal tersebut dan memfokuskan hal tersebut sebagai isu yang penting dalam politik global.
Ketiga, dalam prinsip bebas-aktif Indonesia yang dipergunakan sebagai pedoman untuk
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berbasis perdamaian. Tidak hanya melihat konflik
yang berbasis negara atau koloni tetapi melihat juga konflik yang berbasis identitas.
Setidaknya, Indonesia menjadi salah satu negara yang mampu menerapkan nilai-nilai
perdamaian pada prinsip bebas-aktif yang diimplementasikan ke dalam konflik agama di
India. Dengan arti lain, seharusnya Indonesia memaknai bebas-aktif tersebut dalam kebijakan
luar negerinya. Tidak hanya sekedar tulisan yang berada dalam buku yang dipelajari di
sekolah-sekolah. Sebagai negara yang mempunyai integritas, Indonesia mendalami makna
dari politik bebas-aktif tersebut sebagai bebas yang artinya tidak memihak dan aktif yang
berarti ikut dalam menjaga perdamaian dunia. Di dunia yang serba berubah ini, tidak hanya
konflik kolonial yang terjadi tetapi konflik identitas juga inheren di dalam politik global.
Oleh karena itu, seharusnya kemampuan Indonesia berbicara dimuka umum menjadi
hal yang penting untuk menekan negara-negara yang tidak mampu dalam memaknai arti
kemanusiaan. Modal-modal yang dimiliki Indonesia tentunya menjadi modal yang kuat.
Sehingga, Indonesia dapat berbicara di muka dunia tentang hak asasi manusia.
Comments