Jabbaar Rais
Student of International Relations, UII
Pertengahan bulan november tahun ini, parlemen di Selandia Baru mengesahkan RUU Pilihan Untuk Mengakhiri Hidup (End of Life Choice). RUU ini menang setelah meraup 69 suara, berbanding 51 suara penolakan. Dengan lolosnya RUU ini maka memperbolehkan orang dewasa yang menderita sakit parah dan hanya mempunyai prakiraan hidup kurang dari enam bulan untuk mengakses bantuan kematian atau eusthanasia ini.
Hasil ini membuat pro kontra yang sudah terjadi di parlemen selama empat tahun akhirnya sirna. Sebenarnya, RUU ini sendiri sudah hampir disahkan pada bulan oktober akan tetapi batal karena ada banyak perubahan di dalamnya. Sehingga RUU ini ditunda dan disahkan pada bulan November setelah melalui sidang yang digelar secara maraton. Akan tetapi, dengan disahkannya RUU ini membuat adanya aksi unjuk rasa dari para kalangan yang menentang eusthansia. Aksi unjuk rasa digelar di depan Gedung Parlemen sewaktu sidang voting itu berlangsung. RUU inipun mendapat tanggapan paling besar dari pubik sepanjang sejarah negara Selandia Baru, yakni sekitar 39.000 masukan ke parlemen. Akan tetapi, legalisasi RUU ini bisa terwujud apabila masyarakat Selandia Baru mendukung, sehingga eusthanasia dapat dilegalisasi melalui jajak pendapat publik tahun depan bersamaan dengan pemilu serta legalisasi ganja.
Sementara di beberapa lain seperti Belanda, Belgia, Kolombia, Luxemburg dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat memperbolehkan adanya eusthanasia. Negara-negara tersebut menganggap bahwa kematian merupakan hak prerogatif masing-masing individu. Bahkan menganggap bahwa hal tersebut merupakan sebagian dari hak asasi manusia. Akan tetapi, negara-negara tersebut melegalkan eusthanasia dengan catatan eksekusi harus sesuai prosedur dan mengikuti protokol hukum yang jelas. Pelegalan ini dipandang memiliki berbagai dampak positif, antara lain di Belgia menurunkan biaya operasional untuk perawatan lansia sehingga dana ini nantinya dapat dialihkan untuk dana lainnya. Selain itu, hal ini membantu para penderita penyakit parah agar tidak lebih merasakan penderitaan yang lebih menyakitkan dan membantu keluarga dalam meringankan beban biaya perawatan. Eusthanasia juga membantu menyesuaikan waktu kematian sesuai dengan kondisi kapan dan dimana organ tersebut akan diperlukan. Sehingga pasukan untuk donor suatu organ dapat terjaga stabilitasnya dan lebih jelas karakteristiknya. Selain itu dapat mengurangi tingkat bunuh diri secara bertahap. Sebagian kalangan pendukung juga menyatakan hal ini dapat digunakan sebagi salah satu cara dalam hukuman mati karena lebih manusiawi. Pandangan ini menganggap bahwa lebih manusiawi dengan melakukan eusthanasia dalam eksekusi hukuman mati karena lebih membuat para target lebih tenang dalam menghadapi kematian dan tidak brutal seperti tembak, setrum atau bahkan pancung kepala.
Dampak negatif juga turut menghinggapi dengan diterapkannya kebijakan ini di beberapa negara. Salah satunya negara Belanda, semenjak dilegalkannya eusthanasia pelayanan untuk peserta dengan penyakit kronis mengalami kemunduran drastis. Ini menandakan bahwa dokter cenderung menjadikna eusthanasia sebagai formula efektif untuk menangani pasien yang sudah sangat parah, tanpa memedulikan potensi kedepannya. Tentu hal ini juga sangat bertentangan dengan apa yang disyariatkan oleh masing-masing agama, terutama agama Islam dan Kristen. Dalam hal agama, pratik ini sama saja dianggap seperti membunuh. Oleh sebab itu, kebanyakan kalangan yang kontra menyakini bahwa praktik eusthanasia sama saja dengan membunuh. Ditambah lagi praktik ini dapat digunakan sebagai alasan suatu keluarga agar cepat mendapatkan harta warisan atau tidak ingin kehilangan banyak uang dalam merawat sanak saudara.
Sementara itu, di negara Indonesia sendiri legalitas praktik ini sebenarnya belum tercantum dalam undang-undang ataupun peraturan pemerintah yang spesifik. Tetapi dalam hal ini, praktik eusthanasia secara tidak langsung terikat oleh Pasal 344 KUHP. Dalam pasal ini eusthanasia diartikan sebagai pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap mempunyai pidana bagi pelakunya. Sehingga dalam konteks hukum Indonesia, eusthanasia dianggap sebagai perbuatan yang dilarang atau tidak dimunginkan untuk dilakukannya suatu tindak penghilangan nyawa bahkan dengan izin korban sekalipun. Meskipun cukup banyak kasus seputar pengajuan eusthanasia di Indonesia, tetapi kasus-kasus tersebut selalu berakhir dengan penolakan di pengadilan dan terganjal oleh kode etik kedokteran. Bahkan dalam hukum adat sekalian, eusthanasia dianggap sebagai tindakan yang melawan takdir sehingga praktik ini dianggap sebagai praktik yang dilarang. Oleh karena banyaknya aturan serta berbagai argumen penguat inilah yang membuat praktik eusthanasia belum ada di Indonesia. Akan tetapi, praktik ini dirasa dapat diterapkan di Indonesia terutama di lingkup eksekusi mati. Sejauh kita ketahui, Indonesia selama ini lebih sering memakai eksekusi tembak mati. Kebiasaan penggunaan tembak mati bisa dipandang sebagai perbuatan yang brutal serta tenaga yang digunakan juga cenderung banyak. Contohnya, dalam eksekusi tembak mati terkadang melibatkan banyak eksekutor dimana hanya ada beberapa eksekutor yang diberikan peluru. Hal ini tentu bisa dikatakan cukup merepotkan meskipun hasilnya efektif. Berbanding terbalik dengan eusthanasia yang hanya memerlukan sedikit tenaga, karena eksekutor dapat dilakukan oleh satu orang yakni dengan cara memberikan suntikan mematikan. Dengan cara ini efektivitas waktu dan tenaga jauh lebih ringan dibandingkan dengan eksekusi tembak mati. Selain itu, cara eusthanasia bisa dikatakan jauh lebih manusiawi dibandingkan dengan eksekusi tembak mati. Akan tetapi penerapan praktik ini lagi-lagi terhalang oleh Pasal 344 KUHP dan kode etik dokter, sehingga praktik ini tidak digunakan ke dalam salah satu opsi eksekusi mati suatu tindak pelanggaran.
Meskipun secara garis besar, praktik ini cukup menguntungkan seperti dapat mengurangi biaya negara terhadap lansia, biaya perawatan anggota keluarga, hingga efektivitas dalam bidang hukuman mati dan dampak lainnya. Praktik ini masih cenderung dianggap terlarang oleh sebagian kalangan karena dianggap sebagai tindakan pembunuhan. Masing-masing argumen yang dikeluarkan untuk praktik inipun juga saling menguatkan dan menjatuhkan karena masing-masing kalangan mempunyai pandangan yang berbeda akan eusthanasia. Kedepannya mungkin praktik ini bisa menjadi praktik massal illegal karena berbagai hal di dunia ini dinamis dan selalu menuju ke arah perubahan. Perihala benar atau tidaknya kembali lagi kepada masing-masing individu dengan pandangannya.
Comments