Vanya Gerina Azzahra
Student of Economics, UII
Apa yang terjadi pada muslim Uighur tidak bisa dipandang sebelah mata. Tindak kekerasan terhadap muslim Uighur atas tuduhan separatisme, radikalisme, ataupun terorisme tidak dapat dibenarkan. Pemerintah China, melakukan tindak kekerasan terhadap etnis Uighur dengan alasan ingin memerangi ketiga tuduhan tersebut meski tanpa bukti yang jelas. Tertuang dalam peraturan yang dibuat sepihak, pemerintah China memberlakukan sederet aturan terhadap bangsa Uighur yang mengekang kebebasan warga tersebut di Xinjiang.
Perkembangan konflik Uighur diperparah adanya praktik ‘genosida perlahan’ oleh pemerintah China. Di Xinjiang, mesjid dan situs keagamaan digusur oleh pemerintah yang berkomitmen untuk memberantas budaya mereka. Orang tua dilarang memberi nama anak-anak mereka dengan nama muslim tradisional, pria muslim dipaksa untuk mencukur jenggot mereka. Pemerintah China juga rela membangun krematorium untuk muslim Uighur yang meninggal demi menghapus tradisi pemakaman muslim. Tidak berhenti di situ, kamp-kamp terkonsentrasi di Xinjiang, yang katanya sebagai pusat pelatihan kejuruan skill seperti menjahit, perakitan elektronik, dan bahasa China, pada kenyataannya berisi doktrinisasi ideologi komunis. Di kamp-kamp tersebut pula Uighur dipaksa makan daging babi dan minum alkohol yang haram bagi muslim.
Bencana kemanusiaan demikian tidak bisa diabaikan begitu saja. Sudah cukup dengan kekejaman yang terjadi pada Rwanda, Timor Timur, ataupun Myanmar yang bias. Kebiasan dunia yang kejam dengan mengabaikan bencana kemanusiaan hingga terlambat agaknya sulit untuk dihilangkan. Program pembersihan etnis yang dipimpin negara bahkan bisa dikatakan lebih kejam. Apa yang membuat dunia seolah tidak acuh dengan pelanggaran hak kemanusiaan seperti ini? Bagi negara-negara tertentu, memposisikan dirinya dalam merespon konflik dari suatu negara bagaikan sebuah dilema. Hal ini terjadi pada Indonesia.
Baru saja, media massa Indonesia digemparkan dengan munculnya berita Wall Street Journal yang menyebut beberapa organisasi masyarakat (ormas) Islam Indonesia seperti Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dirayu China untuk tak lagi mengkritik dugaan persekusi yang diterima muslim Uighur. Kita bisa menebak bahwa The Wall Street Journal mewakili komunitas Amerika Serikat (AS) dan Uighur itu mewakili komunitas Tiongkok (China). Sementara Indonesia di sini hanyalah menjadi alat perang dingin antarnegara adidaya itu. Meski belum dipastikan kebenarannya, Menteri Polhukam, Mahfud MD, menyerukan, dalam merespon konflik Uighur, ada baiknya Indonesia tidak mengambil langkah konfrontatif, melainkan diplomasi lunak. Maka dari itu, menanggapi adanya tuduhan The Wall Street Journal, beliau mengarahkan ormas-ormas Islam terkait agar tetap bijak dan tidak gegabah dalam bertindak.
Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas muslim, tentu menaruh rasa simpati serta empati begitu besar terhadap Uighur. Dibuktikan dengan maraknya aksi unjuk rasa di berbagai kota di Indonesia. Ratusan demonstran dari berbagai organisasi masyarakat seperti Persaudaraan Alumni (PA) 212, GNPF, MUI, HMI, dan FPI pun ambil bagian berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar China di Jakarta. Aksi ini tidak lain sebagai tanda atau sinyal agar negara tirai bambu segera menyudahi kekejaman terhadap kaum minoritas Uighur.
Di sisi lain, Indonesia tidak bisa semudah itu mengutuk China atas apa yang telah mereka lakukan kepada muslim Uighur. Sebagaimana diketahui, peran penting China sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Asia tidak bisa dianggap sepele. Terlebih, China termasuk di antara negara mitra terpenting bagi Indonesia. Hubungan kedua negara ini semakin erat dibuktikan rilisnya data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal Nasional (BKPM) yang menyatakan bahwa China adalah negara keempat terbesar penyumbang investasi asing langsung bagi Indonesia setelah Singapura, Jepang, dan Malaysia. Di masa mendatang, hubungan Indonesia dan China diprediksi kian menguat selaras dengan adanya Visi Kemitraan Strategis 2030 antara China dan negara-negara anggota ASEAN. Di bidang kerja sama ekonomi ini, Indonesia bisa mendapatkan hasil investasi yang lebih banyak lagi pada 2030.
Memang, urusan kerja sama antar negara tidak hanya sebatas kerja sama ekonomi. Masih banyak pilar kerja sama yang dapat dibangun, meliputi kerja sama politik dan keamanan serta bidang sosial budaya, misalnya. Namun, melihat adanya potensi ekonomi tentu membuat Indonesia tergiur. Bayangkan, jika Indonesia terlalu mencampuri urusan dalam negeri China, akankah peningkatan kerja sama kedua negara ini, utamanya dalam bidang ekonomi, dapat se-intensif seperti sekarang? Sebaliknya, jika Indonesia memprioritaskan hubungan diplomatik dengan China, dengan tidak mengambil langkah kongkrit, apakah itu berarti Indonesia seakan menutup mata atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada masyarakat Uighur?
Kenyataan memang berkata demikian. Indonesia hingga kini masih bungkam atas kasus Uighur. Analisis Institute for Policy Analysis of Conflit (IPAC) mengungkapkan bahwa sejak awal Indonesia bahkan tidak memandang isu ini sebagai pelanggaran HAM. Begitu pula dengan negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) sekali pun selama ini tidak ada yang aktif mengkampanyekan pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur. Hal ini boleh jadi disebabkan oleh hegemoni China yang begitu besar di negara-negara muslim atas nama kerjasama ekonomi. Selain itu, banyak negara muslim belum terlalu ramah terhadap masalah HAM.
Lebih jauh lagi, sebagai negara yang mengakui kedaulatan bangsa lain, dan dalam batas-batas tertentu, Indonesia tidak bisa terlalu banyak memberikan kritisi tentang isu tersebut karena masalah Uighur merupakan masalah internal China. Terlepas dari pemberitaan yang mencuat di media massa, pengetahuan objektif yang beredar terkait kasus Uighur sangat terbatas. Di satu sisi, China melakukan semacam ‘public diplomacy’ dengan elemen-elemen muslim di Indonesia. Di sisi lain, secara pemerintahaan, Indonesia juga tidak pernah punya cukup pengetahuan tentang apa yang sebenarnya terjadi di Uighur, karena dalam ranah sesama pemerintah tidak pernah ada komunikasi yang membahas Uighur.
Comments