Putera Dwi Kusumatoro
International Programs of Management Studies
Dalam beberapa bulan terakhir, Britania Raya menjadi sorotan publik mancanegara karena mereka seperti terus berpusat pada "masalah tanpa jalan keluar” yang telah menjadi concern bukan hanya bagi rakyat dan politisi Inggris, namun juga para petinggi Uni-Eropa; ya, tidak lain dan tidak bukan, Brexit.
Tidak berlebihan bila menyebut Brexit sebagai keresahan dan kefrustasian rakyat inggris dalam beberapa tahun belakangan. Bukan tanpa alasan, para petinggi Inggris hanya terus berdebat di House of Commons namun hasilnya hanyalah penundaan dan perpanjangan proses negosiasi yang membuat rakyat Inggris sudah terbiasa akan hal itu.
Perdana Menteri Inggris saat ini, Boris Johnson, terakhir kali berjanji bahwa dia akan membawa Britania Raya keluar dari Uni-Eropa selambat-lambatnya pada 31 Oktober tahun ini. Optimisme rakyat meninggi setelah Johnson mendapatkan persetujuan dengan Uni-Eropa mengenai draf Withdrawal Agreement Bill di Brussel, 17 October lalu.
Pada tahap selanjutnya, Bill tersebut harus melewati voting Parlemen Inggris pada hari Sabtu, 19 Oktober, yang bertujuan untuk mencari kesepakatan dengan Parlemen bahwa Bill tersebut dapat diproses pada 3 hari diakhir Oktober, atau yang dikenal dengan sebutan Timetable Motion Brexit, yang bilamana jika Bill dapat di proses pada Timetable, Inggris akan pada akhirnya dapat keluar dari Uni-Eropa.
Di hari Sabtu, Partai Konservatif yang merupakan partai dari Johnson dapat bergembira karena berhasil mendapatkan kemenangan setelah anggota Parlemen memberikan persetujuan awal untuk Bill kesepakatan yang Johnson buat dengan Uni-Eropa beberapa waktu lalu. Namun, Kegembiraan The Tories (sebutan untuk Partai Konservatif) hanya berlangsung 15 menit. Johnson harus menerima kekalahan di voting kedua oleh parlemen. Hasilnya tipis, Johnson kalah dengan 16 suara, 322 ke 306 suara.
Karena kekalahan tersebut, mau tak mau Johnson harus meminta perpanjangan proses negosiasi Brexit kepada Uni-Eropa yang sebagaimana telah diatur pada Benn Act. Uni-Eropa yang dipimpin oleh Donald Tusk menyetujui untuk memperpanjang proses Brexit sampai 31 January 2020. Uni-Eropa beranggapan bahwa perpanjangan proses negosiasi Brexit adalah yang paling menguntungkan bagi EU dan UK untuk menghindari terjadinya No-Deal Brexit. Beberapa waktu setelahnya, Parlemen Iinggris menyutujui untuk mengadakan General Election Vote pada 12 Desember nanti. Lantas, seperti apa rencana dari Pemerintah dan Partai Oposisi, dua partai yang mendominasi di Britania Raya saat ini; Partai Konservatif dan Partai Buruh.
Partai Konservatif:
Perdana Menteri Inggris saat ini, Boris Johnson, menginginkan UK untuk keluar dari Uni-Eropa dengan merevisi Withdrawal Agreement Bill yang sempat disetujui oleh Uni-Eropa. Isi Bill diantaranya; UK akan keluar dari Union Customs Uni-Eropa dan dapat memungut pajak, keringanan peraturan pajak antara Irlandia Utara dengan Republik Irlandia (Back Stop Border) yang selama ini menjadi masalah, perjanjian baru pada VAT (Value Added Tax) atau penambahan pajak di wilayah Irlandia Utara, masa transisi dengan Uni-Eropa sampai Desember 2020, hak-penduduk bagi orang Eropa yang tinggal di wilayah UK, dan juga memperkuat strategi National Health Service (NHS).
Partai Buruh:
Partai yang dipimpin oleh Jeremy Corbyn ini menyatakan bila jika mereka memenangi pemilihan nanti, mereka akan menegosiasi ulang kesepakatan Brexit oleh Boris Johnson dan membawa proses itu ke Pemilihan Publik, mempertahankan hubungan jual beli dengan Uni-Eropa, memberikan dana yang dibutuhkan oleh sekolah, NHS, dan Polisi, dan mengembangkan produk kesehatan dari sinergi antara uang rakyat dan NHS. Partai Buruh juga mengampanyekan #RealChange pada hak-hak wanita dan kaum buruh. Yang terbaru, Partai ini berjanji akan menyerahkan keputusan akhir mengenai stay or leave kepada rakyat Britania Raya jika mereka terpilih.
Prediksi:
Pada General Election ini, Partai Konservatif mengutamakan penguatan pada bidang Ekonomi, sementara Partai Buruh ingin memperkuat kesejahteraan rakyat. Resesi Global mungkin terjadi pada tahun 2020, memperkuat bidang ekonomi nampak sangat masuk akal untuk mengatasinya, Juga, jika melihat kebelakang, Boris Johnson hanya kalah pada voting kedua Parlemen, yang sebetulnya mendapatkan dukungan dari Parlemen pada langkah awal. 16 suara merupakan hasil yang tipis, mengingat Parlemen hanya tidak setuju jika Bill diproses dalam tiga hari. sebagai perbandingan, Perjanjian Lisboa membutuhkan 11 hari proses penelitian dan Perjanjian Roma membutuhkan 22 hari penelitian. Bila melihat tenggat waktu 12 Desember sampai 31 Januari nanti, Pemerintah berarti mempunyai waktu luang untuk proses double-checked bill, Lords timetable, dan voting parlemen. Ini seperti membuka peluang Partai Konservatif untuk mendapatkan jalan keluar dari yang selama ini selalu menemui jalan buntu.
Comments