Zuliyan M. Rizky
Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia
Email: 18323094@students.uii.ac.id
Taufik Abdullah dalam bukunya Haji Agus Salim dan Pembentukan Tradisi Kecendekiaan di Indonesia mengkutip sebuah pernyataan yang cukup menarik. Ketika itu Harian Abadi pada tahun 1951 pernah mengadakan public opinion poll tentang 10 orang yang layak menjadi founding fathers Indonesia. Setelah dilakukan, sosok Agus Salim masuk menjadi salah satu yang terpilih diantara 10 nama lainnya. Hal ini tentunya tidak mengherankan untuk sekarang namun pada waktu itu justru menimbulkan pertanyaan. Anggaplah Soekarno dan Hatta layak terpilih karena Presiden dan Wakil Presiden-nya. Natsir, Sartono, dan Syahrir karena jabatan di partai-partai-nya. Lalu, siapa Agus Salim?
Diskusi tentang founding fathers pada waktu itu sebagaimana disebutkan oleh Taufik Abdullah berkembang kepada peranan masing-masing tokoh. Pada sesi inilah jawaban atas ‘kelayakan’ Agus Salim sebagai founding fathers ditemukan. Agus Salim adalah seorang pemikir dan intelektual muslim yang progresif. Kepiawaiannya dalam berorganisasi berperan banyak dalam kiprahnya merintis diplomasi. Kecakapannya meliputi banyak bahasa diantaranya Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Turki, dan Jepang. Ahmad Syafii Maarif dalam buku Haji Agus Salim, Indonesia, dan Islam menyebutkan sosok yang dijuluki The Grand Old Man oleh Soekarno ini sebagai penerjemah, aktivis politik, wartawan, diplomat ulung, negarawan, dan intelektual kelas berat. Pergelutan semasa hayatnya mencitrakan pengalamannya yang berkelas. Dimulai dengan relasinya bersama Snouck Hurgonje, penerjemah Konsulat Belanda di Jeddah, pimpinan redaksi Harian Hindia Baroe, karir politik di Sarikat Islam, anggota BPUPKI dan PPKI, hingga Menteri Luar Negeri di awal kemerdekaan. Peranan ‘hayat dikandung badan’ yang dimiliki Agus Salim sudah lebih dari cukup untuk menjadikannya sebagai salah satu founding fathers yang dimiliki Indonesia.
Kiranya cukup sulit bagi kebanyakan penulis untuk menceritakan kembali dan mengulas ulang sosok tokoh bangsa yang satu ini. Ketika sudah bertumpuk buku yang ditulis, ribuan artikel telah ter-publish, bahkan berbagai aspek milik tokoh yang selesai dianalisis. Menjadi sebuah tantangan tersendiri dalam merekonstruksi seorang Agus Salim pada sebuah tulisan dengan angle atau bahasan yang jarang dituliskan oleh kebanyakan penulis lainnya. Disamping citra yang cerdas dan berwibawa, Agus Salim juga memiliki sisi jenaka yang tidak banyak dilihat orang. Menariknya, sisi jenaka tersebut justru berperan banyak pada keberhasilan diplomasi yang dilakukan oleh Agus Salim. Berikut ini beberapa aksi Agus Salim dalam merintis diplomasi Indonesia dengan diplomasi ‘jenaka-nya’.
Jenggot dan Kambing di Panggung Voolksraad
Agus Salim dikenal sebagai tokoh yang pandai ‘bersilat lidah’ dan cerdas dalam beradu argumentasi. Kemahirannya ini diakui oleh Wakil Presiden Indonesia yang pertama, Mohammad Hatta. Hatta menceritakan Agus Salim dalam autobiografinya yang berjudul Memoir sebagai sosok yang hampir tidak memiliki tandingannya. “Kepandaian yang luar biasa, baru seratus tahun lahir kembali manusia seperti Agus Salim” ujar Hatta.
Kemahiran ini pernah dipraktikkan Agus Salim saat menjadi anggota Voolksraad (Dewan Rakyat) sebagai wakil dari Sarekat Islam kurun waktu tahun 1921-1924. Suatu kali Agus Salim berpidato di atas podium menggunakan bahasa Melayu. Ketua parlemen yang memimpin sidang menegur keras Agus Salim dan diminta berpidato dengan bahasa Belanda. Agus Salim yang sebenarnya cakap berbahasa Belanda justru bersikap ngeyel dan merasa berhak berpidato dengan bahasa Melayu. Dikutip dari Majalah Tempo Agus Salim menyebutkan kata ‘ekonomi’ dalam pidatonya. Salah satu anggota Voolksraad yang juga lawan politik Agus Salim, Bergmeyer mengejeknya. “Apa kata ekonomi dalam bahasa Melayu?” Agus Salim menimpali “Coba tuan sebutkan dulu apa kata ekonomi dalam bahasa Belanda, nanti saya sebutkan dalam bahasa Melayu.” Bergmeyer terdiam karena memang kata ‘ekonomi’ tidak ada dalam bahasa Belanda.
Penampilannya dengan kumis dan jenggot yang tebal juga tidak luput dari komentar oorang-orang di Voolksraad. Saat Agus Salim melangkah menuju podium untuk membacakanya pidatonya. Sontak seisi ruangan mengejeknya dengan mengucapkan “Mbeek, mbeek.” Solichin Salam dalam bukunya Seratus Tahun Hadji Agus Salim menggambarkan Agus Salim tetap percaya diri dan tenang ketika melangkah ke podium. Sebelum memulai pidatonya, Agus Salim dengan gaya jenakanya berkata “Saya tidak mengira bahwa disini banyak juga rupanya kambing yang hadir. Kepada pimpinan rapat, saya minta supaya kambing-kambing itu dikeluarkan saja dari gedung ini.” Solichin Salam menyebutkan sejak saat itu tidak ada lagi yang meremehkan Agus Salim di panggung Vooklsraad.
Pura-Pura Pingsan di Kapal Renville
Pembawaan yang tenang dan humoris menjadi kunci Agus Salim di tengah negosiasi yang alot dan panasnya geladak kapal USS Renville. 8 Desember 1947 menjadi hari dimana kompromi antara delegasi Indonesia dan Belanda menjadi pertemuan yang krusial dan penuh emosi. Agus Salim tidak menjadi tokoh sentral pada pertemuan itu, ia hanya menjadi anggota delegasi yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin bersama Ali Sastroamidjojo, Dr. Tjoa Sin Len, Mohammad Roem, Narsun, dan Ir Juanda.
Amerika Serikat, Australia, dan Belgia yang tergabung dalam Komite Tiga Negara bertindak sebagai mediator perundingan di atas kapal yang sedang melepas jangkar di Perairan Tanjung Priok. Komite Tiga Negara sendiri dibentuk setelah keputusan sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success, New York pada 19 Agustus 1947. Lahirnya Komite Jasa Baik secara tidak langsung disebabkan atas upaya Agus Salim mendapatkan Pengakuan kedaulatan dari negara-negara Arab. Dengan keberhasilannya membuka jalan bagi diplomasi Indonesia, Agus Salim tentu menjadi salah satu masalah yang sangat diperhitungkan Belanda.
Dalam pengantar buku Hadji Agus Salim: Pahlawan Nasional, Wakil Presiden Mohammad Hatta menceritakan bahwa waktu itu Belanda sangat gusar. Belanda mempersoalkan lobi internasional Indonesia di Liga Arab telah menyalahi hukum internasional. Mengacu pada Perjanjian Linggarjati, Belanda menganggap bahwa kedaulatan Indonesia masih berada di bawah naungannya. Agus Salim merespon amarah Belanda dengan balik bertanya “Apakah aksi militer yang tuan lancarkan kepada kami sesuai dengan Perjanjian Linggarjati? Pengakuan de jure kami peroleh adalah akibat daripada aksi militer tuan. Kalau tuan-tuan sekali lagi melancarkan aksi militer kepada kami, kami akan mencapai pengakuan de jure dari seluruh dunia.” Agus Salim berpendapat justru Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947 menjadi sebab Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan dari negara-negara Arab.
Demi menetralisir suasana meja kompromi yang menegangkan, Agus Salim kembali bersikap tenang dan jenaka. Ia meminta pelayan kapal untuk dibawakan air es saat kehausan. “Hampir saya jatuh pingsan” celetuk Agus Salim kepada pelayan kapal. Pelayan perempuan berkebangsaan Amerika ini menyahut “Kalau nanti tuan jatuh pingsan pasti akan saya peluk.” Agus Salim dengan santai cepat membalas “Buat apa dipeluk kalau saya sudah pingsan!” Guyonan ini berhasil mencairkan suasana. Sejarawan Rushdy Hoesein menilai wajar kalau Agus Salim tampil tanpa beban dalam Perundingan Renville. Hal ini disebabkan karena dia menghadapi delegasi Belanda yang salah satunya diwakili oleh Abdulkadir Widjoatmojo. Agus Salim dan Abdulkadir sebenarnya adalah sahabat. Mereka pernah sama-sama bertugas di Konsulat Belanda di Jeddah pada 1906-1911. Sehingga kedekatan dua sahabat ini sedikit-banyak memecah kebuntuan negosiasi antara Indonesia dan Belanda yang berakhir dengan ditandatanganinnya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948.
Diplomasi Kretek
Siti Aisah, putri keenam Agus Salim dalam sebuah wawancara pernah menuturkan kisah ayahnya saat menghadiri penobatan Ratu Elizabeth di Buckingham Palace. Saat itu Agus Salim hadir bersama Sri Paku Alam IX mewakili pemerintah Indonesia. Saat berlangsungnya acara, Agus Salim melihat Duke of Edinburgh atau suami sang ratu yang bersikap canggung dengan para tamu yang hadir dari berbagai negara. Memang pada acara penobatan itu hadir Raja Arab Saudi sampai putra mahkota Jepang, Kaisar Akhitio. Duke of Edinburgh ini pada akhirnya menyendiri dan hanya berkumpul dengan orang-orang sebangsanya.
Melihat hal itu Agus Salim mendekati Duke of Edinburgh atau Pangeran Philip sembari memberikan beberapa puntung rokok kretek seraya berkata “Apakah Paduka pernah mengenal bau rokok ini?” tanya Agus Salim. Pangeran Philip mencium seraya menjawab dengan sopan “Rasanya saya tidak pernah mengenal aroma ini Tuan.” Agus Salim pada akhirnya tersenyum dan berkata “Inilah yang menyebabkan bangsa Paduka beramai-ramai mendatangi negeri saya.” Duke of Edinburgh atau Pangeran Philip ini tertawa sehingga suasana menjadi cair. Ia kembali membaur dengan beberapa undangan serta menyambut tamu kehormatan dari berbagai negara yang hadir.
Pendekatan jenaka dan humoris yang dilakukan oleh ayahnya dianggap Siti Aisah sebagai upaya membantu Duke of Edinburgh atau Pangeran Philip ini lepas dari kecangungannya. “Ayah tidak berniat merokok dalam acara kenegaraan itu, tapi itu adalah diplomasi ayah untuk melepaskan Pangeran Philip dari lingkaran bangsanya sendiri” ujar Siti Aisah. Sikap jenaka Agus Salim ternyata memiliki kesan tersendiri bagi Duke of Edinburgh atau Pangeran Philip ini. Secara tidak langsung Agus Salim memperkenalkan Indonesia kepada tamu-tamu penting dari berbagai kalangan dunia. Ketika ingin meninggalkan Westminster Abbey, Pangeran Philip memperkenalkan Agus Salim kepada istrinya dan berkata “Gentleman ini berasal dari Indonesia.” Cerita ini pada akhirnya dikenal sebagai diplomasi kretek.
Comments