top of page
Tulisan Kami: Blog2
Search
FPCI UII

Freedom of navigation: Katalis Perang Dunia 3?

Updated: Jan 9, 2020

Utin Try Wahyuni

Utintry@gmail.com

Student of International Relations, UII


Belum lama ini, Kapal Militer Amerika Serikat melakukan Latihan Perang Tingkat Tinggi di wilayah Laut China Selatan bersama dengan angkatan laut India dan Jepang. Keberadaan angkatan laut Amerika atau kapal Amerika serikat di sana bukan kali pertama. Amerika Serikat seringkali menggunakan prinsip Freedom of Navigation dalam “memprovokasi” kemarahan Tiongkok.


Prinsip Freedom of Navigation ini memang memberikan kewenangan pada kapal-kapal negara berdaulat untuk melintasi lautan bebas dengan memasang bendera negara tersebut. Namun, sejak awal prinsip ini diterapkan di Laut China Selatan, Tiongkok menganggap hal tersebut bertentangan dengan hukum negara nya termasuk hukum laut dan teritorialnya. Meskipun sebenarnya Freedom of Navigation ini tidak hanya dilakukan oleh Amerika, namun juga pernah dilakukan oleh Inggris dan Jerman. Namun, hubungan panas dalam sektor ekonomi antara kedua nya tampaknya akan menjadikan Laut Cina Selatan sebagai “medan perang”.


Sebagaimana yang telah kita ketahui, sengketa Laut China Selatan begitu “seksi” bagi Tiongkok. Tiongkok yang dikenal sebagai negara yang haus akan sumberdaya tentu saja akan mempertahankan wilayah dengan simpanan minyak bawah laut mencapai 11 milliar barel ini. Tidak hanya itu, Laut China Selatan juga merupakan salah satu jalur perdagangan utama.


Meski demikian, klaim Tiongkok atas kepemilikan wilayah ini sudah ditolak oleh Pengadilan Arbitrase Internasional. Tapi, hal ini tidak menyelesaikan sengketa yang terjadi karena masih terjadi perebutan wilayah ini antara Tiongkok, Malaysia, Filipina dan Vietnam.


Keberadaan Angkatan Laut Amerika Serikat dalam latihan gabungan bersama India dan Jepang di wilayah sengketa ini seakan menunjukan perlawanan atas hegemoni Tiongkok di wilayah ini. Amerika Serikat juga mengajak negara-negara diluar negara yang bersengketa untuk “menduduki” wilayah ini seperti Australia dan Perancis. Hal ini dinilai Tiongkok sebagai campur tangan yang provokatif. Tidak hanya itu, tentu saja ini menambah kompleks persaingan geopolitik di wilayah yang sudah disengketakan. Keterlibatan Amerika Serikat sendiri dari awal memang terlihat sebagai upaya menekan Tiongkok sebagai wujud persaingan yang sangat kuat antar kedua nya.


Sejak 2017, militer AS telah secara signifikan telah meningkatkan frekuensi, ruang lingkup, dan intensitas operasinya di wilayah Laut Cina Selatan. Begitu pula dengan Tiongkok, untuk “mengalahkan” Amerika Serikat, Tiongkok tercatat juga meningkatkan militer negara nya dengan membeli pesawat tempur Rusia Su-35 dan peralatan rudal darat S-400.

Keadaan ini menunjukan security dilema antar negara yang terlihat sedang berebut hegemoni ini.


Ketegangan di Laut China Selatan bagai percikan api bagi perang dagang antara Amerika dan Tiongkok.


Perang dagang saat ini tidak menunjukan tanda-tanda “rekonsialiasi”. Upaya-upaya yang menjurus ke arah win-win solutions seperti nya tidak akan bisa ditemukan melihat agresifitas dua raksasa ekonomi dunia ini. Tarif perdagangan yang tinggi dan saling balas-membalas mengkhawatirkan pelaku usaha dan investor kedua belah pihak.


Keadaan ini tidak hanya berpengaruh pada kedua negara tapi juga menimbulkan dampak ke negara-negara lain mengingat bahwa kedua nya adalah “kutub” perekonomian dunia.

Sikap Agresif yang ditunjukan Amerika Serikat di Laut China Selatan tentu nya bukan hanya perihal apa yang mereka sebut selama ini sebagai Freedom of Navigation. Namun juga menekan Tiongkok dalam perang dagang yang telah terjadi 18 bulan belakangan.

Permasalahan kecil seperti yang terjadi pada Manajer Umum Tim Liga NBA yang diboikot karena mencampuri urusan dalam negeri Tiongkok saja mampu meningkatkan ketegangan yang sedang terjadi. Apalagi keterlibatan Angkatan Laut Amerika langsung di wilayah sengketa.


Bukan baru sekali permasalahan politik dan keamanan dibalas dengan embargo ekonomi oleh Tiongkok. Hal semacam ini pernah terjadi pada Filipina pada 2012. Tiongkok berhenti membeli pisang dari Filipina, setelah sengketa maritim mengenai Scarborough Shoal di Laut Cina Selatan.


Melihat apa yang dilakukan kedua negara selama perang dagang ini, Tiongkok tidak akan tinggal diam atas campur tangan Amerika Serikat kali ini. Beberapa pernyataan perang telah di lontarkan oleh pejabat struktural terkait meskipun tidak secara resmi oleh negara. Namun, hal itu cukup menunjukan betapa kedua nya tidak dalam posisi yang mampu bekerja sama.

Laut China selatan akan menjadi daerah paling berbahaya di dunia saat ini. Ketegangan dan perebutan hegemoni yang terjadi saat ini bukan tidak mungkin menjadikan tempat ini katalis perang dunia selanjutnya.

23 views0 comments

Comments


bottom of page