Tahun 2019 ditandai sebagai momen penting bagi Indonesia, untuk ke empat kalinya Indonesia berhasil menduduki kursi dewan keamanan tidak tetap PBB. Hasil ini tentu membawa harapan besar akan keterlibatan Indonesia dalam proses perdamaian dunia. Sejak proses kampanye pemilihan, Indonesia telah memiliki beberapa isu yang akan menjadi prioritas dalam DK PBB. Indonesia memiliki empat prioritas dimana prioritas utamanya ialah membawa perdamaian bagi rakyat Palestina. Dalam praktiknya, Menlu Retno Marsudi seringkali mengangkat isu pendudukan Israel di Palestina, terlebih pada bulan Mei ini Indonesia mendapat giliran untuk menjadi Presiden dalam DK PBB, lantas apakah sesungguhnya yang mampu dilakukan Indonesia dalam perdamaian Palestina?
Hal pertama yang perlu diperhatikan ialah, konflik Israel dengan Palestina bukan hanya mempersengketakan wilayah teritorial, namun lebih dari pada itu, konflik ini memiliki latar belakang historis yang panjang, mulai dari isu etnisitas hingga isu keagamaan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh kekuatan besar dunia untuk memberikan stabilitas kawasan pada area ini, baik melalui proses negosiasi ataupun mediasi. Namun tidak satupun diantara proses tersebut yang benar-benar mampu menghentikan konflik berkepanjangan ini.
Disisi lain, upaya perdamaian Palestina selayaknya telah menjadi bagian dari impian Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, Soekarno telah mengatakan bahwa Indonesia tidak akan berhenti menentang pendudukan Israel selama rakyat Palestina belum dibebaskan. Sehingga, upaya pembebasan Palestina seakan telah mandarah daging dalam negeri ini. Terlebih, perdamaian dunia merupakan amanat konstitusi yang harus selalu di patuhi oleh Indonesia, terlepas dari siapapun yang memerintah. Namun letak permasalahannya adalah: seberapa jauh Indonesia mampu berkontribusi terhadap upaya perdamaian Palestina, serta apakah kedudukan RI di DK PBB berdampak signifikan terhadap penyelesaian konflik?
Jika dilihat dari pergerakan Indonesia dalam mempromosikan perdamaian Palestina, Indonesia hanya mampu berupaya untuk ‘mendorong proses perundingan’ mengenai isu terkait. Beberapa waktu lalu Indonesia berhasil menginisiasi Arria Formula, yang merupakan forum informal yang biasa digunakan untuk membahas isu-isu sensitif dalam DK PBB. Febrian Alphayanto Ruddyard, Direktur Jendral Kerja Sama Multilateral Kemenlu RI, mengakui bahwa proses Arria Formula ini digunakan dalam rangka untuk memetakan komitmen negara-negara lain dalam melihat konflik Palestina serta menjadi gambaran tentang negara mana saja yang mampu menjadi partner Indonesia dalam proses perdamaian Palestina (CNN, 2019). Belum terlihat proses nyata terhadap upaya penyelesaian konflik di kawasan Palestina dalam forum ini.
Dalam hal ini, penulis melihat bahwa posisi DK PBB tidak serta merta membuat proses perdamaian Israel-Palestina menjadi hal yang mampu dijangkau oleh Indonesia. Meskipun demikian, proses perundingan tetap merupakan elemen penting dalam berdiplomasi, hanya saja signifikansi terhadap penyelesaian masalah sangatlah minim. Proses perudingan isu Palestina bukanlah hal yang baru bagi Indonesia, keterlibatan Indonesia dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) telah sejak lama menempatkan isu Palestina sebagai prioritas, namun hasil belum menunjukan dampak yang signifikan.
Dalam hal lain, terdapat upaya alternatif yang mampu Indonesia lakukan dalam menciptakan perdamaian di Palestina. Salah satu cara yang mampu dilakukan ialah ikut berkontribusi terhadap proses mediasi perdamaian kedua negara. Dilihat dari proses mediasi yang telah berjalan, proses penyelesaian konflik Israel-Palestina membutuhkan dukungan penuh dari publik internasional mengingat serangkaian agenda mediasi yang telah dilakukan gagal memberikan stabilitas kawasan. Salah satu yang paling fatal ialah transformasi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dibawah Donald Trump, Negeri Paman Sam tersebut sejatinya merupakan aktor internasional yang secara aktif melakukan mediasi perdamaian, namun transisi pemerintahan pada Trump membuat AS dianggap telah mengkhianati two-state solution dengan mengakui Jarussalem sebagai ibukota Israel (Beaumont, 2017).
Proses mediasi bukanlah proses yang mudah, Bercovitch menjelaskan dalam artikelnya bahwa mediasi memerlukan kesediaan dari kedua belah pihak serta mampu berprilaku sebagai mediator yang netral. Dukungan internasional dalam memediasi konflik juga menjadi aspek yang penting, mengingat proses ini bertumpu pada kepercayaan akan kemampuan dalam memediasi konflik. Dalam hal ini, Indonesia bukanlah actor mencolok yang dianggap mampu menjadi penengah dalam konflik, hal ini terjadi karena Indonesia belum memiliki legitimasi internasional yang kuat dalam hal pengaruh politk dan juga pengalaman dalam memediasi konflik. Peranan Indonesia di DK PBB pun tidak banyak memiliki pengaruh terhadap kepercayaan masyarakat internasional dalam hal memediasi konflik. Oleh karenanya, penulis melihat bahwa jalan yang mampu ditempuh oleh Indonesia adalah dengan bermitra pada negara yang memiliki komitmen two-state solution serta memiliki legitimasi politik yang kuat dalam kancah internasional.
Harapan muncul ketika Tiongkok mulai memainkan peran aktif dalam proses penyelesaian konflik, data yang ditunjukan oleh Merics memperlihatkan upaya Tiongkok yang semakin aktif sebagai mediator konflik (Hoffmann, 2018). Bak gayung bersambut, Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi mengatakan bahwa Tiongkok siap untuk membantu proses penyelesaian konflik melalui jalur mediasi. Sikap ini diambil oleh Tiongkok dalam me-respon tindakan AS yang dianggap telah mencederai prinsip two-state solution. Tiongkok yang dianggap seringkali memainkan peran sebagai quasi-mediator, memiliki alasan kuat dibalik tawarannya untuk memediasi konflik Israel-Palestina. Komitmen Tiongkok terhadap prinsip two-state solution serta hubungan ekonomi yang kuat antara Tiongkok-Israel dan Tiongkok-Palestina juga menjadi faktor pendorong keinginan Tiongkok dalam memediasi konflik di kawasan tersebut. Komitmen Tiongkok juga tertuang dalam proposal yang dinamakan sebagai four-point plan, komitmen ini dibuat oleh Xi Jinping terhadap proses penyelesaian konflik Israel-Palestina (Zoubir, 2017; Tang, 2017; Huang, 2013).
Lebih lanjut, upaya Tiongkok untuk memediasi konflik Israel-Palestina dianggap akan mendapat dukungan dari masyarakat internasional yang telah kecewa dengan posisi AS dalam memandang konflik ini. Dalam hal lain, Mahmoud Abbas, Presiden Palestina, memiliki intensi yang kuat untuk keterlibatan Tiongkok dalam mempromosikan perdamaian di Palestina. Hal ini terlihat dari upayanya yang meminta bantuan diplomatik pada Tiongkok pasca keputusan sepihak AS untuk memindahkan kedutaannya ke Jarussalem (Lieber, 2017).
Oleh karenanya, penulis melihat bahwa Tiongkok merupakan harapan baru dari proses penyelesaian konflik Israel-Palestina. Penulis juga menilai bahwa cara yang paling mungkin dilakukan oleh Indonesia adalah dengan membangun kemitraan dengan negara yang memiliki komitmen kuat dalam penyelesaian konflik secara nyata. Dalam hal ini, Tiongkok merupakan partner strategis bagi Indonesia untuk menjalin hubungan diplomatik terhadap penyelesaian konflik Israel-Palestina.
Keinginan kuat Tiongkok untuk memiliki peran konstruktif dalam kawasan, memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan kedua pihak (berpotensi sebagai mediator yang netral), merupakan anggota tetap UNSC serta potensial menjadi responsible global power telah membuat Tiongkok menjadi mitra strategis bagi Indonesia dalam mempromosikan perdamaian bagi rakyat Palestina. Sehigga prioritas Indonesia di DK PBB lebih dari hanya sekedar “mengembalikan isu Palestina dalam perhatian internasional”, namun keterlibatan Indonesia mampu lebih substansial jika menjalin hubungan dengan Tiongkok yang memiliki intensi dalam memediasi konflik secara nyata.
Beaumont, P. (2017, December 13). Palestinians no longer accept US as mediator, Abbas tells summit. Retrieved from www.theguardian.com: https://www.theguardian.com/world/2017/dec/13/recep-tayyip-erdogan-unite-muslim-world-trump-east-jerusalem
CNN. (2019, May 2). Indonesia Gagas Diskusi Informal Palestina di DK PBB. Retrieved from www.cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190502172417-106-391448/indonesia-gagas-diskusi-informal-palestina-di-dk-pbb
Hoffmann, H. L. (2018, August 22). China as a conflict mediator: Maintaining stability along the Belt and Road Initiative. Retrieved from www.merics.org: https://www.merics.org/en/china-mapping/china-conflict-mediator
Huang, C. (2013, Mei 6). Xi proposes four-point plan to resolve Palestinian issue. Retrieved from www.scmp.com: https://www.scmp.com/news/china/article/1231358/xi-proposes-four-point-plan-resolve-palestinian-issue
Lieber, D. (2017, December 19). Abbas sends envoys to China, Russia to seek replacement for US in peace process. Retrieved from www.timesofisrael.com: https://www.timesofisrael.com/abbas-sends-envoys-to-china-russia-to-seek-replacement-for-us-in-peace-process/
Tang, F. (2017, December 9). China offer to help get Israelis and Palestinians talking. Retrieved from www.scmp.com: https://www.scmp.com/news/china/diplomacy-defence/article/2123631/china-offers-help-get-israelis-and-palestinians-talking
Zoubir, D. S. (2017). China’s Participation in Conflict Resolution in the Middle East and North Africa: A Case of QuasiMediation Diplomacy? Journal of Contemporary China, 1-2.
Comentários