Zuliyan M. Rizky
Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia
Sejak didirikan pada tahun 1985, SAARC memang selalu akrab akan polemik dan konflik. Organisasi regional ini berdiri di tengah kontroversi antara dukungan dan ketidakpercayaan. Lahirnya SAARC atau South Asian Association for Regional Cooperation berawal atas inisiatif Presiden Bangladesh Zia-ur Rahman pada tahun 1980. Ia menginginkan terbentuknya sebuah organisasi regional yang menaungi negara-negara di Asia Selatan. Walau mendapatkan dukungan dari Nepal, Sri Lanka, Maladewa, dan Bhutan. Usulan Bangladesh tersebut tetap tidak luput mendapatkan pertentangan. Di tengah kondisi perekonomian yang rumit serta stabilitas keamanan yang pelik, India dan Pakistan tetap menggugat SAARC dengan kritik.
Berbagai wacana dan dugaan bermunculan. India menganggap pembentukan SAARC adalah upaya negara-negara kecil di Asia Selatan membentuk sebuah organisasi regional sebagai forum untuk memasukkan isu-isu bilateral masing-masing negara di dalamnya. Hal ini tidak lain bertujuan adalah untuk meredam dominasi serta pengaruh India di kawasan Asia Selatan. Lain hal dengan Pakistan, mereka justru menuduh bahwa pembentukan SAARC sebetulnya hanya menjadi kendaraan bagi India untuk melanggengkan hegemoni ekonominya. Meskipun pada akhirnya dua negara ini memutuskan tetap bergabung. Sikap ketidakpercayaan kedua pihak ini tidak hilang bahkan melekat hingga sekarang. Menariknya menurut M.B Naqvi, SAARC dewasa ini bertransformasi menjadi ajang perebutan pengaruh antara India dan Pakistan.
Tidak mengherankan memang jika hal demikian menjadi indikasi lambatnya perkembangan SAARC sebagai sebuah organisasi regional. Pendirian awal yang bermasalah nampaknya benar-benar memiliki dampak. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pertemuan SAARC summit yang pernah terlaksana. Dalam kurun 32 tahun berdiri, SAARC hanya mampu melaksanakan 18 summit yakni pada tahun: 1985, 1986 1987, 1988, 1990, 1991, 1993, 1995, 1997, 1998, 2002, 2004, 2005, 2007, 2008, 2010, 2011, dan 2014. Padahal, sebagaimana tertera dalam SAARC charter pertemuan puncak kepala negara anggota SAARC seharusnya dilaksanakan sekali atau lebih setiap tahunnya. Sikap negara-negara anggota SAARC yang telah melewatkan beberapa agenda pertemuan sudah cukup menjelaskan ketidakharmonisan hubungan negara-negara di Asia Selatan serta lemahnya kecakapan SAARC yang belum dapat merangkul negara-negara dalam naungannya.
SAARC dalam perkembangannya memang selalu 'berjalan pincang'. Organisasi regional ini bahkan tidak dapat berkata banyak terhadap konflik serta guncangan stabilitas keamanan yang terjadi di kawasan. SAARC sebagai sebuah badan kerjasama dihadapkan dengan dilema atas bermacam-macam perselisihan negara-negara anggotanya. Sebut saja India dan Pakistan yang berseteru atas Siachen, Kargil, Sir Creek, serta Kashmir. Afghanistan dan Pakistan terhadap perbatasan Durand. India dan Bangladesh dengan konflik teritori New Moor Island. Terorisme lintas perbatasan yang tersebar di India, Pakistan, dan Afghanistan serta isu pengungsi dan imigran turut berkontribusi dalam memperkeruh stabilitas kawasan di Asia Selatan. Hal ini tentunya menjadi 'momok' serta tantangan utama bagi SAARC yang harus diselesaikannya. Berposisi sebagai forum yang berusaha menjembatani regional yang selalu berkonflik tentu bukan tugas yang mudah.
Kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota SAARC sebenarnya dapat dilihat sebagai sebuah peluang. Intensitas konflik fisik dapat dikurangi seiring melibatkan negara-negara Asia Selatan dalam kerjasama ekonomi yang terintegrasi. Namun, lagi-lagi hal ini kembali gagal diwujudkan. Pada tahun 2006, SAFTA atau South Asian Free Trade Agreement dijalankan demi meningkatkan kerjasama bilateral masing-masing negara. Program ini masih terkendala terhadap kekurangan infrastruktur baik fisik maupun institusional, pertumbuhan ekonomi yang tidak rata di masing-masing negaranya, serta perjanjian-perjanjian bilateral negara-negara anggota SAARC yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan SAFTA. Beberapa negara SAARC bahkan telah nyaman membelikan keperluan-keperluan negaranya di luar Asia Selatan. Sehingga kerjasama ekonomi yang dapat menjadi peluang kembali menjadi pekerjaan rumah SAARC yang harus segera terselesaikan.
Upaya SAARC yang paling intensif akhir-akhir ini adalah dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Aspek ini dilihat lebih soft serta masih berada dalam batas kecakapan SAARC dibanding berkecimpung di beberapa konflik negaranya. Penggunaan sumber daya Asia Selatan dalam level pendidikan, sastra, seni, dan tradisi ditingkatkan lalu disempurnakan dengan beberapa jalinan kerjasama seperti UNESCO dan sebagainya. Sebagai sebuah langkah awal hal ini patut diapresiasi. Outputnya menunjukan koordinasi yang positif dengan tahap terjalinnya konektivitas civil society diantara negara-negara di Asia Selatan. Namun, lagi-lagi SAARC harus benar-benar cakap menjawab tantangannya karena aspek sosial budaya belum cukup untuk menaungi Asia Selatan.
Jika ingin melakukan komparasi serta perbandingan antara tiga aspek yakni keamanan, ekonomi dan politik internasional, serta sosial budaya. Hanya aspek sosial budaya yang memberikan output positif bagi keberlangsungan SAARC, selebihnya rendah. Keamanan di Asia Selatan masih diliputi oleh konflik regional yang bervariasi serta gagalnya SAARC menekan angka terorisme. Politik dan ekonomi internasional masih berkutat pada pertumbuhan yang stagnan, negative dan sensative list, serta hubungan bilateral masing-masing negara yang tidak stabil. Apa output yang dihasilkan? Ketergantungan minim, dominasi negara besar (India), serta tidak adanya itikad baik membuat SAARC sulit untung berkembang lebih baik.
Diskursus yang berkembang adalah bagaimana nasib Asia Selatan tanpa SAARC? Apakah lebih baik atau sama saja? Pertanyaan-pertanyaan ini akan lebih muncul sebagai bentuk kewajaran dalam memposisikan SAARC serta posisinya di Asia Selatan. Sebagai sebuah pembuktian, organisasi regional dapat menjadi jembatan serta sukses menciptakan kondusifitas regional. Sebut saja ASEAN (Association of South East Asia Nations) yang mengubah ranah konflik Asia Tenggara menjadi kawasan kondusif dengan kemanan antar negara-negara pesertanya yang terjamin. Sehingga hal ini seharusnya menjadi antitesa bahwa SAARC juga dapat menciptakan hal yang serupa.
Koordinasi dan komitmen menunjang keberhasilan dan efektifitas sebuah organisasi. Tinggi atau rendahnya dua aspek tersebut seiring berjalan sebagai sebuah ukuran. Butuh beberapa rekonstruksi kecil untuk kembali ‘melahirkan’ SAARC yang besar. Kapasitas, sovereignty, dan kapasitas patut untuk ditingkatkan. Tentunya dengan kontribusi dan sumbangsih yang diberikan serempak oleh semua negara Asia Selatan. Jika keberadaan organisasi regional akan tetap ‘pincang’ dan ‘payah’ dalam menciptakan perubahan, lalu untuk apa terus dipertahankan?
Comments