Muhammad Rayhan Faqih Syahfa
Director of Research and Analysis FPCI UII
Student of International Relations, UII
Minggu lalu, FPCI UII merilis opini yang ditulis oleh Saudari Nadiyah tentang bagaimana relevansi politik bebas-aktif Indonesia. Didalamnya, Saudari Nadiyah beranggapan bahwa Indonesia sudah tidak lagi netral karena memihak kepada hanya satu negara (Tiongkok) yang alasannya disertakan pula oleh beliau; tidak ada negara adikuasa yang tersisa, kecuali Tiongkok karena adanya perubahan dunia yang pada akhirnya membuat bebas-aktif tidak relevan lagi. Saya mencoba memaknai pengertian politik bebas-aktif oleh saudari Nadiyah dan menurut saya makna itu adalah hal yang wajar dipahami oleh masyarakat Indonesia secara luas bahwa politik luar negeri bebas-aktif berarti netral. Namun, saya mempunyai persepsi sendiri tentang bebas-aktif. Sesuai dengan apa yang telah di tulis oleh saudari Nadiyah, mengarungi dua karang bisa diartikan sebagai berdiri ditengah-tengah atau netral dan dapat disimpulkan bahwa Indonesia tidak bergantung pada blok barat maupun blok timur, namun netralitas tersebut bukan berarti kita tidak dapat mengandalkan salah satu negara besar atau dalam artian kasar; kita tidak dapat menyeimbangkan kerjasama antara (contohnya pasca kemerdekaan) Soviet dan Amerika, namun kerjasama ini proposional (walau tidak seimbang). Ini menjadi bertolak-belakang dengan apa yang telah saudari Nadiyah tuliskan yang intinya menyatakan bahwa perubahan dunia hanya menyisakan Tiongkok sebagai negara adikuasa dan menyebabkan kenetralitasan kita dipertanyakan. Jika demikian, seharusnya kenetralitasan ini dipertanyakan sedari Presiden Soekarno memimpin, kita tidak perlu lagi menceritakan bagaimana kedekatan Indonesia dengan Soviet lalu beranjak kepada Orde Baru tentang kedekatan Presiden Soeharto dengan Amerika Serikat, lalu Presiden Abdurahman Wahid dan Megawati dengan Tiongkok lalu berubah lagi saat Presiden Yudhoyono memimpin yang lebih condong kepada Amerika Serikat dan Sekarang Presiden Widodo dengan Tiongkok. Namun, apakah semua ini dapat dibilang tidak netral?
Hal yang kemudian tidak disertakan didalam opini saudari Nadiyah adalah bagaimana relevansi dari keaktifan Indonesia di kancah global saat ini, karena menurut saya, bebas-aktif mempunyai arti sebab-akibat. Keaktifkan Indonesia dikancah global akan sangat dipengaruhi oleh kebebasan Indonesia dalam bekerjasama dengan negara-negara lain, contohnya dalam forum internasional, Indonesia tidak akan terikat oleh negara manapun ketika ingin bermanuver, namun hal ini akan menjadi pertimbangan ketika kita sedang bersandar kepada salah satu pihak. Namun, apakah sandaran ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang tidak netral? Justru dengan bebas-aktif Indonesia mendapatkan banyak manfaat dibidang tawar-menawar. Walaupun tidak semudah membalikan telapak tangan, Indonesia mempunyai banyak opsi apabila sedang terancam dimeja perundingan. Contoh, ketika Indonesia sedang bernegosiasi secara alot yang mengancam terputusnya pasar, Indonesia dapat bergantung kepada negara lain yang lebih membutuhkan atau yang dibutuhkan Indonesia tanpa pandang bulu. Karena walaupun Indonesia sedang bersandar disatu negara, Indonesia sangat hobi bersandar pula dengan negara adikuasa lain secara diam-diam. Sesuai dengan perumpaan presiden-presiden Indonesia terdahulu yang telah saya sebutkan diatas, sebut saja saat Soekarno dekat dengan Soviet, beliau masih akrab dengan Presiden J.F.Kennedy begitu pula pula saat kedekatan Megawati dengan Tiongkok, beliau masih mendukung War on Terrorism yang dicanangkan oleh Amerika Serikat atau ketika perdagangan dengan Tiongkok meningkat saat era S.B. Yudhoyono. Bukti dari akibat kebebasan yang diwujudkan oleh Indonesia adalah terpilihnya Indonesia di berbagai posisi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB); Anggota (tidak tetap) Dewan Keamanan PBB atau bahkan Dewan Hak Asasi Manusia PBB. Indonesia sangat lantang menentang Israel (dalam konfliknya dengan Palestina) yang notabene-nya sahabat dari Amerika Serikat yang juga sangat dekat dengan Indonesia, lalu Indonesia lantang menentang klaim Tiongkok atas Laut Tiongkok Selatan, padahal Tiongkok adalah negara yang (saat ini) paling dekat dengan Indonesia diberbagai bidang. Itu semua karena Indonesia nothing to lose, ini persoalan siapa yang membutuhkan siapa.
Saya mencoba melirik lagi kepada ungkapan Mohammad Hatta tentang mendayung diantara dua karang, ketika kita berada di tengah-tengah, saya menolak untuk mengatakan bahwa kita tidak perlu kedua-duanya atau ketika kita bekerja-sama dengan salah satu negara, kita melupakan yang lain. Terlalu naif bila kita berkata bahwa kenetralan Indonesia dikancah dunia harus dipertanyakan, saya berpendapat bahwa makna dari politik bebas-aktif adalah kita dapat bekerja sama dengan semuanya tanpa harus menghitung ada berapa banyak negara adikuasa yang tersisa didunia ini.Saya sepakat dengan apa yang pak Dino Patti Djalal katakana dalam tulisan saudari Nadiyah bahwa Indonesia harus bekerjasama dengan semua pihak agar tidak dilihat sebagai musuh, lalu apakah sedari dulu Indonesia tidak melakukan hal tersebut?
Lalu pada bagian negara Adikuasa yang tersisa hanyalah Tiongkok adalah hal yang kurang tepat bagi saya. Tiongkok boleh jadi sedang tinggi-tingginya, namun label Amerika Serikat sebagai negara adikuasa tidak bisa dihilangkan begitu saja, walaupun Amerika Serikat sedang menggencarkan Proteksionismenya, Amerika Serikat masih menjadi aktor utama dalam pergolakan di beberapa kawasan seperti Timur Tengah dan beberapa negara lain yang masih bergantung dengan Amerika Serikat. Bahkan, Amerika Serikat masih mempunyai pengaruh yang tinggi dalam forum-forum tingkat dunia.
Bagaimana dengan kondisi Indonesia sekarang? Menurut saya politik bebas-aktif menjadi keuntungan tersendiri bagi Indonesia, karena dengan siapapun kita bekerjasama, tidak akan ada perselisihan yang tinggi. Misalnya ketika kita bekerjasama dengan Tiongkok yang notabene-nya rival dari Amerika Serikat, kita tidak mendapatkan masalah yang signifikan, kita tidak dianggap sebagai musuh. Itulah keuntungan dari politik bebas-aktif, kita dapat bermanuver sesuai dengan kebutuhan Indonesia dengan menghitung cost dan benefitnya. Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa relevansi dari bebas-aktif masih terus terjaga, dengan bebas-aktif, kita tidak mempunyai musuh dalam bekerjasama, dengan bebas-aktif Indonesia akan terus dikenal dengan negara yang tidak berpihak kepada siapapun namun bekerjasama dengan siapapun dan dengan bebas-aktif, kita dapat berdiplomasi tentang sesuatu hal yang memang menjadi concern kita tanpa takut akan kehilangan sesuatu hal. Satu hal yang perlu diingat adalah keberpihakan Indonesia kepada salah satu negara tidak akan berlangsung abadi, ia akan selalu bermanuver untuk menemukan siapa yang paling menguntungkan -kebetulan, sekarang lagi gilirannya Tiongkok.
Comments