top of page
Tulisan Kami: Blog2
Search
FPCI UII

Perang Dagang Amerika Serikat-Tiongkok: Apa yang harus dilakukan Indonesia?

Updated: Dec 19, 2019

Perang dagang Amerika Serikat – Tiongkok menjadi sangat hangat diperbincangkan akhir-akhir ini. Kekhawatiran negara-negara lain pun muncul terkait dampak yang akan terjadi dari perang dagang ini terhadap ekonomi internasional. Namun, bagaimana memahami perang dagang yang sedang terjadi ini? Podcast terbaru dari Asumsi Bersuara with Nathaniel Rayestu mengundang Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M.Ec, seorang ekonom, peneliti, yang juga mantan Manteri Keuangan Indonesia (2013-2014), atau yang akrab disapa Pak Dede. Kami mencoba untuk meringkas obrolan hangat tersebut.


Disampaikan Pak Dede, perang dagang AS-Tiongkok dapat dilatarbelakangi oleh keadaan, ketika suatu negara mengalami defisit perdagangan (keadaan dimana import lebih tinggi dari eksport) untuk membuat keseimbangan antara import – eksport maka negara tersebut membuat non tariff barriers (membuat standarisasi terhadap barang yang akan masuk kedalam suatu negara. Barang yang tidak memiliki standar ini tidak dapat masuk dengan tujuan mengurangi impor). Itu lah yang dilakukan oleh Amerika Serikat di masa kepemimpinan Donald Trump ini.


Amerika memiliki trade deficit terhadap Tiongkok. Oleh sebab itu, kenaikan bea masuk dijadikan cara untuk menekan impor dari Tiongkok untuk menanggulangi trade deficit ini. Sebetulnya, Amerika tidak hanya melakukan tindakan ini terhadap Tiongkok, akan tetapi terdapat juga negara-negara lain yang masih dalam tahap investigasi. Tindakan Amerika terhadap Tiongkok kemudian mendorong Tiongkok untuk melakukan pembalasan, yaitu menerapkan tariff masuk barang import Amerika ke negaranya sehingga terjadilah apa yang kini disebut dengan perang dagang.


Trade War juga dipahami bukan hanya reaksi Amerika untuk menanggulangi trade deficit, namun juga dapat dilihat sebagai reaksi Amerika terhadap Tiongkok sebagai rising power. Tiongkok dapat dilhat sebagai negara yang mampu mengancam power negara adidaya seperti Amerika yang sejak awal sudah established. Perlu dicatat bahwa, ketika suatu negara melakukan hambatan dagang sebenarnya yang akan dirugikan adalah negara itu sendiri, karena masyarakat memiliki kesulitan untuk membeli barang yang lebih mahal.

Lantas bagaimana implikasi dari trade-war terhadap Indonesia? Indonesia merupakan produsen barang mentah dan salah satu pasar ekspor terbesar Indonesia adalah ke Tiongkok, lalu apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia?


Dijelaskan Pak Dede, 40% ekspor Indonesia ke Tiongkok adalah batu bara dan kelapa sawit. Indonesia dapat terkena secara langsung apabila ekonomi Tiongkok mengalami kelemahan, karena Tiongkok merupakan negara yang sangat membutuhkan SDA sementara mereka sendiri tidak memiliki SDA dibidang kelapa sawit dan batu bara. Kalau Tiongkok tidak melakukan investasi, maka profit perusahaan Indonesia akan mengalami penurunan dan berimbas pada pembayaran pajaknya, sehingga pendapatan pajak Indonesia menurun sementara fiscal deficit akan naik. Namun juga terdapat keuntungan seperti yang terjadi di beberapa negara tetangga, di mana investor-investor asing Amerika dan Tiongkok akan memindahkan produksi mereka dari dua negara tersebut ke negara lain agar tidak terkena dampak tariff. Contohnya, Samsung di Vietnam, dan Harley Davidson di Thailand.


Menanggapi trade war yang terjadi, menurut Pak Dede, Indonesia perlu melakukan reformasi regulasi di bidang ketenagakerjaan. Sebagaimana diketahui bahwa 3 daya tarik utama Indonesia bagi investor asing adalah: sumber daya alam, pasar domestik, dan tenaga kerja. Aturan ketenagakerjaan di Indonesia masih terlalu ‘saklek’, yakni apabila ingin mengeluarkan pekerjanya maka harus memberikan pesangon setara dengan gaji 95 minggu dia bekerja, sementara di Vietnam hanya memberikan pesangon setara 60 minggu dia bekerja. Hal ini menjadikan Vietnam lebih banyak mendapatkan tempat bagi para investor asing. Selain itu, Indonesia memiliki lebih banyak pekerja kontrak dibandingkan pekerja tetap, maka dari itu Indonesia dirasa perlu untuk merevisi peraturan ketenagakerjaan apabila ingin mendapatkan keuntungan yang lebih banyak seperti yang didapatkan oleh Vietnam ataupun Thailand.

5 views0 comments

Comments


bottom of page