top of page
Tulisan Kami: Blog2
Search
FPCI UII

POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA BEBAS AKTIF : MASIH RELEVANKAH?

Nadiyah Kholilah Yahya

Student of International Relations, UII


Terbentuknya prinsip luar negeri Indonesia yaitu Bebas-Aktif tidak lepas dari sejarah panjang mengenai perang dunia, pasca perang dunia II yang dimenangkan oleh negara-negara sekutu, terjadinya perpecahanan didalam kubu sekutu sendiri, antara Amerika Serikat yang berideologi Liberal dengan Uni Soviet yang berideology komunis, adanya perbedaan ideology dalam satu kubu menciptakan terjadinya perebutan pengaruh dari kedua nya, era terpecahnya dua kekuatan besar dunia ini dinamakan sebagai era perang dingin antara blok barat dan blok timur. Prinsip politik luar negeri Indonesia bebas aktif pertama kali dicetuskan oleh Sutan Sjahrir tahun 1947 di forum Inter Asia Relations Conference New Delhi, beliau merespon tentang terbelahnya dua kekuatan di dunia yang mendorong negara-negara lain yang sebenarnya tidak memiliki keterlibatan didalam kasus tersebut untuk menentukan sikap dengan berpihak kepada salah satu pihak, sehingga Sjahrir akhirnya mengatakan bahwa “Dunia tampaknya memaksa kita untuk membuat pilihan antara kekuatan yang saling bermusuhan sekarang: antara blok AngloSaxon dan Soviet Rusia. Tetapi kita secara benar menolak untuk dipaksa. Kita mencari wujud internasional, yang sesuai dengan kehidupan interen kita dan kita tidak ingin terperangkap dalam sistem-sistem yang tidak cocok dengan kita dan tentu saja tidak ke dalam sistem-sistem yang bermusuhan dengan tujuan kita”. bebas disini berarti bebas untuk menentukan mau menentukan kebijakan yang akan dikeuarkan, bebas untuk memilih untuk berpihak kemana saja, dan bebas tanpa adanya ikatan ataupun pengaruh dari Negara lain, sedangkan aktif yang dimaksudkan disini adalah Indonesia akan aktif dalam berkontribusi dalam politik global. Istilah prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dikuatkan kembali oleh Mohhamad Hatta dalam pidatonya di Sidang Badan pekerja KNIP di Yogyakarta tanggal 2 september 1948 yang berbunyi “Apakah bangsa Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaannya, tidak mempunyai jalan lain daripada memilih antara pro Rusia atau pro Amerika? Pemerintah Indonesia berpendapat, bahwa kedudukan Indonesia dalam politik internasional bukan tempat yang pasif. Politik Republik Indonesia harus ditentukan sesuai dengan kepentingan sendiri dan fakta-fakta yang dihadapi. Garis politik Indonesia tidak dapat digantungkan kepada politik negara lain, yang mengejar kepentingan sendiri.” , dengan pidato penegasan oleh hatta saat itu maka keluarlah sebuah istilah cerdas “mendayung diantara dua karang” yang dimana istilah tersebutlah yang menjadi gambaran dari prinsip politik luar negeri Indonesia yang tetap mempertahankan diri sebagai negara yang bebas dan aktif meski terhitung baru merdeka.


Kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif yang akhirnya menempatkan Indonesia pada posisi tidak berpihak pada blok timur maupun blok barat mendapat berbagai respon dari pihak-pihak terkait, terutama dalam hal pengamplikasian politik luar negeri yang dianggap memilih untuk netral, sehingga bung Hatta kembali menjelaskan bahwa “the policy of the republic Indonesia is not one neutrality” yang menjelaskan bahwa Indonesia berada di tengah bukan berarti indonesia netral dan arti anti sosial, seperti makna netral yang dikemukakan oleh Philip C Jessup, makna netral menurut bung Hatta saat itu adalah bisa bebas dan aktif yang berarti Indonesia tidak menjadi bagian dari blok manapun tetapi memiliki jalan yang dirasa sesuai untuk mengatasi persoalanan dunia internasional. Dan aktif memiliki makna bahwa Indonesia adalah negara yang aktif berkontribusi dalam terciptanya tatanan dunia yang lebih baik meski pada saat itu Indonesia tidak memihak tetapi Indonesia tetap aktif menjadi salah satu pion untuk memperjuangkan selesainya perang dingin antara dua kubu. Bentuk upaya memperjuangkan selesainya perang dingin yang dilakukan oleh Indonesia adalah dengan didirikannya sebuah gerakan tengah yang diberi nama gerakan Non Blok, gerakan ini merupakan gerakan yang di prakarsai oleh Indonesia untuk menghimpun negara-negara yang memilih untuk tidak berpihak ke blok barat maupun blok timur, pembentukan golongan tengah dalam perang dingin jelas membuat Amerika Serikat maupun Uni soviet merasa bahwa GNB adalah gerakan perlawanan bagi kedua blok tersebut, tetapi melihat dari prinsip luar negeri, maka langkah yang diambil oleh Indonesia untuk membentuk golongan tengah atau gerakan non blok adalah representatif dari politik luar negeri bebas aktif tersebut.


Perang dingin berakhir dengan Amerika Serikat keluar sebagai pemenang, berakhirnya perang dingin tidak hanya berdampak kepada dua negara tersebut, tapi juga pada hampir seluruh dunia, runtuhnya negara komunisme terkuat membuat redupnya ideology kiri yang sebelumnya berkembang begitu pesat, jika melihat ke Indonesia sebagai negara yang berada di blok tengah, berakhirnya perang dingin akhirnya menciptakan situasi yang aman dan tanpa dilema, hanya saja seiring berjalannya waktu, politik luar negeri Indonesia yang hadir untuk menjawab permasalahan negara pasca awal kemerdekaan yaitu bebas aktif menjadi kurang relevan untuk diteruskan, bukan kareka konsepnya tidak baik hanya saja kurang tepat digunakan dalam keadaan dunia yang telah berubah. Ada dua poin yang memperlihatkan ketidakrelevan prinsip politik luar negeri Indonesia bebas aktif, yaitu:


  1. Keadaan dunia yang berubah

Berakhirya perang dingin bukan hanya menciptakan situasi yang relatif lebih aman, tapi juga menciptakan satu negara adidaya dengan kekuasaan dan pengaruh yang kuat secara tunggal, sehingga istilah “berlayar di antara dua karang” itu tidak lagi bisa digunakan ketika tidak ada lagi dua negara kuat yang bersaing dalam perebutan kekuasaan, istilah lainnya adalah “karang” yang dimaksud dalam pidato pak Hatta sudah tidak ada lagi di dunia baru pasca perang dingin, hanya saja prinsip luar negeri Indonesia bebas aktif tidak juga diartikan selalu menggunakan istlilah karang versi lama, bisa dilihat pada beberapa tahun belakangan China muncul menjadi negara kuat yang bersaing dengan Amerika dalam bidang ekonomi, perang dagang antara China dan AS sebenarnya bisa juga dikatakan sebagai perang dingin baru yang akhirnya bertransformasi dalam sector ekonomi, hanya saja apakah penggunaan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif akan sama seperti masa ketika perang dingin terjadi masih menjadi pertanyaan terutama dengan lebih dekatnya Indonesia dengan China berkaitan dengan investasi China di Indonesia dalam sector pembangunan yang sangat besar.


  1. Netralitas dalam politik luar negeri Bebas aktif

Melihat keadaan dunia yang sekarang sudah seharusnya Indonesia tidak lagi menempatkan posisi sebagai negara yang berada di tengah-tengah, seperti yang dijelaskan oleh pak Dino Patti Djalal dalam diskusinya bersama anggota FPCI UII di bengkel diplomasi FPCI pusat tanggal 17 januari 2019 bahwa “pengaplikasian politik luar negeri Indonesia bebas aktif dalam masa kini bukan lagi menempatkan diri ditengah, tetapi ada bersama kedua belah pihak” yang menarik dari argument beliau bahwa menempatkan posisi Indonesia di tengah-tengah negara yang memiliki kekuatan yang besar itu hanya menyulitkan Indonesia untuk menjalin kerjasama, akan lebih baik jika Indonesia menjalin hubungan baik dengan kedua nya sehingga tidak dilihat sebagai musuh atau lawan, karena ketika berada ditengah itu maka ada kemungkinan Indonesia akan dilihat sebagai lawan dari sisi kedua belah pihak.


Melihat dari kedua poin tersebut, terlihat bahwa sebenarnya dalam prinsip luar negeri Indonesia yang sah menurut UUD yaitu “bebas-aktif” masih memiliki ketidak pastian dalam pengaplikasian, sebuah prinsip seharusnya menjadi dasar sebuah kebijakan dan sikap suatu negara, dan ketika bentuk pengaplikasiannya tidak memiliki kepastian maka nilai-nilai dari prinsip tersebut bisa saja hilang atau tidak lagi tercapai, sehingga prinsip politik luar negeri Indonesia bebas aktif itu akan tetap relevan ketika pengaplikasian dan bentuk dari bebas aktif itu bisa lebih diperjelas, seperti apakah Indonesia masih bisa meggunakan istilah mendayung diantara dua karang ketika karang yang dimaksud pada masa itu sudah tidak ada lagi atau apakah ketika memang ada dua kekuatan besar negara yang yang kembali “berperang” dengan cara baru, Indonesia akan kembali menempatkan diri ditengah dua kekuatan besar dunia atau bisa dekat dengan keduanya, karena ketidak jelasan dalam bentuk pengaplikasian itu bisa menciderai atau bahkan menggagalkan tujuan awal dari ditetapkannya prinsip luar negeri Indonesia dan menjadikan prinsip tersebut tidak lagi relevan untuk digunakan sampai saat ini.

460 views0 comments

留言


bottom of page